Catatan Kecil Sengketa Pilwakot Bandar Lampung (Lanjutan)

*) Fajar Lesmana SH., MH. | Jakarta, 14 Februari 2021  

Catatan ini merupakan lanjutan dari catatan kecil saya tentang Sengketa Pilwakot Bandar Lampung. Sengketa yang cukup menarik untuk di kritisi, terutama soal “pembangkangan” terhadap Rezim Hukum Pilkada itu sendiri oleh pihak yang sejak awal telah menundukkan diri ke dalam Rezim Hukum Pilkada, yakni UU No.1 tahun 2015 sebagaimana telah diubah beberapakali terakhir dengan UU No.10 tahun 2016 jo. Putusan MK No.48/PUU-XII/2019 tanggal 29 Januari 2020.

Berdasarkan catatan, terdapat 2 sengketa yang penting untuk disimak dalam Pilwakot Bandar Lampung tahun 2020, pertama adalah Sengketa Hasil yang diajukan di Mahkamah Konstitusi dan kedua adalah Sengketa Pelanggaran Administrasi Pemilihan (TSM) yang diajukan di Bawaslu Provinsi Lampung dan saat ini telah di putus oleh Mahkamah Agung RI dengan Nomor 1P/PAP/2021, tanggal 22 Januari 2021, yang telah membatalkan Keputusan KPU Kota Bandar Lampung tentang Pembatalan Pasangan Calon Peserta Pemilihan Nomor Urut 3 dan memerintahkan KPU Kota Bandar Lampung untuk menetapkan Kembali dan menerbitkan Keputusan baru yang menyatakan Pasangan Calon Peserta Pemilihan tetap berlaku dan berkekuatan hukum mengikat. Yang bermakna Pasangan Calon Nomor Urut 3 kembali pada keadaan semula, dengan perolehan suara yang telah didapatkan dan ditetapkan pada Pilwakot Bandar Lampung tahun 2020.

Sengketa Hasil Pilwakot Bandar Lampung tahun 2020, tentu saja sama sekali tidak menarik bagi saya, mengapa? Sejak awal, tanpa perlu mempelajari lebih mendalam mengenai persyaratan bagi pihak yang hendak mengajukan Sengketa Hasil di Mahkamah Konstitusi tentunya akan mengenal “ambang batas” selisih suara sebagaimana telah diatur di dalam Rezim Hukum Pilkada itu sendiri. Sehingga tentunya, hampir dapat dipastikan sejak awal Sengketa Hasil Pilwakot Bandar Lampung tentunya tidak memenuhi kualifikasi itu. Namun didalam praktek, banyak juga daerah lain yang tetap “ngotot” untuk mengajukannya di Mahkamah Konstitusi meskipun secara sadar pihak yang mengajukan sengketa hasil tersebut tidak memenuhi kualifikasi ambang batas yang telah ditetapkan.

Sampai saat ini, dugaan saya mengenai diajukannya sengketa hasil Pilwakot Bandar Lampung di Mahkamah Konstitusi hanyalah sebagai bagian dari strategi dan taktik untuk “menghambat” pelantikan bagi Pasangan Calon yang telah ditetapkan sebagai Pemenang dalam Pilwakot Bandar Lampung tahun 2020. Karena, bagaimana pun juga, Sengketa Hasil Pilwakot Bandar Lampung tahun 2020 telah “teregister” sebagai perkara Sengketa Pilkada di Mahkamah Konstitusi.

Sementara, Sengketa yang menarik untuk dikritisi adalah Sengketa Pelanggaran Administrasi Pemilihan (TSM). Namun, Sebelum lebih jauh mengkritik soal Sengketa Pelanggaran Administrasi Pemilihan (TSM) pada Pilwakot Bandar Lampung tahun 2020, ada baiknya untuk saya uraikan mengenai Lembaga / Badan yang memiliki Kewenangan memeriksa dan mengadili Sengketa Pilkada berdasarkan Rezim Hukum Pilkada itu sendiri, agar tidak menimbulkan kekisruhan berkelanjutan yang diakibatkan dari “pembangkangan” atas Rezim Hukum Pilkada di Sengketa Pilwakot Bandar Lampung tahun 2020.

Rezim Hukum Pilkada sebenarnya telah membuka ruang yang sangat luas bagi seluruh elemen yang terlibat didalam PILKADA tahun 2020 sebagai sebuah pesta demokrasi sehingga diharapkan dapat mengakomodir berbagai bentuk sengketa yang sekiranya akan muncul didalam perhelatan Pilkada tahun 2020. Adapun badan atau Lembaga yang memiliki kewenangan dalam memeriksa dan mengadili sengketa pilkada pada tahun 2020 diantaranya adalah :

  • Mahkamah Konstitusi terkait sengketa hasil pemilihan
  • Pengadilan Negeri jika sekiranya terdapat unsur pidana dalam sengketa pilkada
  • Peradilan Tata Usaha Negara terkait sengketa tata usaha negara pemilihan
  • Bawaslu Provinsi dalam hal sengketa pelanggaran administrasi pemiliham (TSM)
  • Mahkamah Agung terkait sengketa pelanggaran administrasi pemilihan (TSM) dan pemeriksaan tingkat kasasi dalam sengketa tata usaha negara pemilihan

Hal lain yang membuat Sengketa Pelanggaran Administrasi Pemilihan (TSM) ini menarik adalah, jika melihat pada status ketiga pasangan Calon Wali Kota dan Wakil Wali Kota Bandar Lampung tahun 2020, yakni Paslon Eva Dwiana – Dedy Amrullah, Yusuf Kohar – Tulus Purnomo dan Ryko Menosa – Johan Sulaiman, sesungguhnya hanya 1 paslon yang merupakan “Representasi” dari Incumbent atau Petahana, yaitu Paslon Yusuf Kohar yang sebelumnya menjabat sebagai Wakil Walikota Bandar Lampung periode sebelumnya. Sementara Walikota Bandar Lampung, tidak lagi ikut dalam kontestasi tersebut, adapun Paslon Eva Dwiana yang merupakan istri dari Herman HN (Walikota Bandar Lampung), tentunya tidak bisa dianggap sebagai representasi dari incumbent atau petahanan dan juga tidak bisa dipersamakan begitu saja dengan Herman HN yang menjabat sebagai Wali Kota Bandar Lampung, sebab keduanya tentu adalah ENTITAS HUKUM yang BERBEDA.

Dalam praktek, Sengketa Pelanggaran Administrasi Pemilihan (TSM) identik atau bahkan sangat lekat dengan Paslon yang merupakan “representasi” Incumbent atau Petahana. Menarik memang soal Pilwakot Bandar Lampung ini, justru Paslon yang merupakan bagian atau “representasi” dari incumbent atau petahana yang mengajukan Sengketa Pelanggaran Administrasi Pemilihan (TSM) terhadap Paslon lain yakni Eva Dwiana yang tidak merepresentasikan incumbent dalam Pilwakot Bandar Lampung. Sesungguhnya, saya menilai hadirnya Sengketa Pelanggaran Administrasi Pemilihan (TSM) itu adalah bagian dari “pencegahan” atas kecurangan yang bisa saja dilakukan oleh Paslon yang juga sebagai petahana atau incumbent. Namun, dalam Pilwakot Bandar Lampung tahun 2020 justru representasi incumbent yang menggunakan dalil tersebut terhadap Paslon lain (Eva Dwiana) sebagai istri dari Walikota Bandar Lampung yang telah melakukan Pelanggaran Administrasi Pemilihan (TSM), padahal meskipun berstatus sebagai istri Walikota tentu keduanya adalah Entitas Hukum yang Berbeda dan tidak dapat dipersamakan begitu saja.

Berawal dari Sengketa Pelanggaran Administrasi Pemilihan (TSM) yang diajukan oleh Paslon yang merupakan representasi dari petahana inilah, kemudian Polemik dalam sengketa Pilwakot Bandar Lampung tahun 2020, kemudian berkelanjutan dengan diajukannya Permohonan Peninjauan Kembali di Mahkamah Agung oleh :

  • Muhammad Yusuf Kohar (Pemohon) melawan Hj. Eva Dwiana dan KPU Kota Bandar Lampung (Para Termohon), dengan Nomor Register : 2PK/PAP/2021 ; dan
  • Yopi Hendro (Pemohon) melawan melawan Hj. Eva Dwiana dan KPU Kota Bandar Lampung (Para Termohon), dengan Nomor Register : 1PK/PAP/2021 ;

Tentunya saya menilai upaya Peninjauan Kembali yang diajukan dalam sengketa Pilwakot Bandar Lampung ini tidak dapat dimaknai sebagai “terobosan hukum”, namun saya lebih cenderung untuk mendefinisikannya sebagai “perlawanan” terhadap Rezim Hukum Pilkada. Mengapa? Karena sejak awal Yusuf Kohar (Pemohon PK) telah menentukan pilihannya untuk menggunakan Rezim Hukum Pilkada dalam menyelesaikan sengketa pelanggaran administrasi pemilihan (TSM), sehingga sudah seharusnya tunduk pada segala ketentuan hukum yang mengatur tentang penyelesaian sengketa yang diatur dalam Rezim Hukum Pilkada. Namun paska Putusan Mahkamah Agung RI tanggal 22 Januari 2021, Nomor 1P/PAP/2021, justru mengajukan upaya hukum yang tidak diatur dalam ketentuan pada Rezim Hukum Pilkada itu sendiri dengan mengajukan upaya Peninjauan Kembali.

Rezim Hukum Pilkada memang tidak mengatur secara rinci mengenai upaya Peninjauan Kembali, bahkan dapat dikatakan Peninjauan Kembali ini tidak dikenal dalam sengketa pilkada. Namun tentunya, dalam praktek upaya Peninjauan Kembali ini tetap saja dilakukan dengan dalih “mencari kepastian hukum”, meskipun saya lebih cenderung menempatkan upaya Peninjauan Kembali dalam sengketa pilkada ini justru akan menciptakan ruang bagi “ketidakpastian hukum” itu sendiri, karena memang tidak diatur. Meskipun demikian, terkait Sengketa Pelanggaran Administrasi Pemilihan (TSM) pada Pasal 135A ayat (9) UU No.10 Tahun 2016, telah menyebutkan Putusan Mahkamah Agung bersifat final dan mengikat. Kemudian dipertegas didalam Pasal 24 Perma Nomor 11 Tahun 2016 yang menyebutkan Putusan sengketa pelanggaran administrasi pemilihan, bersifat final dan mengikat, serta tidak dapat diajukan peninjauan kembali.

Terkait upaya Peninjauan Kembali dengan Register Nomor : 1PK/PAP/2021 dan Nomor : 2PK/PAP/2021, tentunya bukanlah hal yang sulit untuk diterjemahkan, karena dasar hukum yang digunakan tentunya adalah soal asas dimana pengadilan tidak boleh menolak atas diajukan suatu perkara dan juga ketentuan mengenai Peninjauan Kembali yang menjadi kewenangan Mahkamah Agung sebagaimana diatur pada Pasal 66 s/d Pasal 77 Undang Undang Nomor 14 Tahun 1985 Tentang Mahkamah Agung sebagaimana telah beberapa kali diubah, terakhir dengan Undang Undang Nomor 3 Tahun 2009.

Pada poin inilah justru kritik terhadap upaya Peninjauan Kembali yang dilakukan oleh Yusuf Kohar dan Yopi Hendro melawan Eva Dwiana dan KPU Kota Bandar Lampung yang tentunya bertujuan untuk menguji dan bahkan membatalkan Putusan Mahkamah Agung tanggal 22 Januari 2021, Nomor 1P/PAP/2021, yang menurut pandangan saya sebagai praktisi hukum, bukan lagi menyoal tentang mendapatkan “kepastian hukum”, akan tetapi berupaya untuk “memenangkan” pilwakot Bandar Lampung tahun 2020 dengan membuka ruang bagi terciptanya “ketidakpastian hukum”. Mengapa? Karena ternyata bukan hanya melakukan “perlawanan” terhadap Rezim Hukum Pilkada namun juga “mengabaikan” mekanisme atau tata cara yang mengatur tentang upaya Peninjauan Kembali yang menjadi kewenangan Mahkamah Agung sebagaimana diatur dalam Undang Undang Nomor 14 Tahun 1985 Tentang Mahkamah Agung sebagaimana telah beberapa kali diubah, terakhir dengan Undang Undang Nomor 3 Tahun 2009.

Penting untuk dicermati mengenai siapa pihak yang memiliki kedudukan hukum dalam mengajukan Permohonan Peninjauan Kembali (Legal Standing Pemohon PK) didalam Undang Undang Nomor 14 Tahun 1985 Tentang Mahkamah Agung sebagaimana telah beberapa kali diubah, terakhir dengan Undang Undang Nomor 3 Tahun 2009, Pasal 68 ayat (1) menyebutkan : Permohonan peninjauan kembali harus diajukan sendiri oleh para pihak yang berperkara, atau ahli warisnya atau seorang wakilnya yang secara khusus dikuasakan untuk itu. Merujuk pada ketentuan Pasal 68 ayat (1) tersebut, maka harus diuraikan lebih dulu, siapa saja yang menjadi para pihak didalam Putusan Mahkamah Agung tanggal 22 Januari 2021, Nomor 1P/PAP/2021, tentunya yang menjadi para pihak hanyalah Hj. Eva Dwiana dan KPU Kota Bandar Lampung. Apakah Yusuf Kohar dan Yopi Hendro yang mengajukan Permohonan Peninjauan Kembali adalah sebagai pihak didalam Putusan Mahkamah Agung tanggal 22 Januari 2021, Nomor 1P/PAP/2021, jawabannya tentu BUKAN. Sehingga baik Yusuf Kohar maupun Yopi Hendro adalah bukan para pihak yang berperkara didalam Putusan Mahkamah Agung tanggal 22 Januari 2021, Nomor 1P/PAP/2021 yang diajukan Peninjauan Kembali tersebut, artinya Yusuf Kohar maupun Yopi Hendro TIDAK MEMILIKI LEGAL STANDING dalam mengajukan Permohonan Peninjauan Kembali.

Lebih lanjut PERMA Nomor 11 Tahun 2016, Pasal 15 menyebutkan siapa saja para pihak yang menjadi PEMOHON dan TERMOHON dalam Sengketa Pelanggaran Adminitrasi Pemilihan (TSM) yang menjadi kewenangan Mahkamah Agung, yakni :

(1) Pemohon merupakan pasangan Calon Gubernur dan Calon Wakil Gubernur, Calon Bupati dan Calon Wakil Bupati atau Calon Walikota dan Calon Wakil Walikota yang terkena sanksi administrasi dari KPU Provinsi/KIP Aceh atau KPU Kabupaten/Kota atau KIP Kabupaten/Kota tentang pembatalan sebagai pasangan calon.

(2) Termohon merupakan KPU Provinsi/KIP Aceh atau KPU Kabupaten/Kota atau KIP Kabupaten/Kota yang menerbitkan Keputusan tentang pembatalan pasangan calon peserta pemilihan sebagaimana dimaksud Pasal 22B dan Pasal 135A Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016.

Dengan menggunakan dasar hukum sebagaimana diuraikan diatas, maka sejak awal saya mengkritik soal upaya Peninjauan Kembali dalam Sengketa Pelanggaran Administrasi Pemilihan (TSM) Pilwakot Bandar Lampung 2020 karena hanya akan memperkeruh situasi politik Kota Bandar Lampung. Semoga Lanjutan Catatan Kecil atas Sengketa Pilwakot Bandar Lampung tahun 2020 ini dapat memberikan pemahaman lain atas upaya Peninjauan Kembali tersebut dan tidak memperkeruh Situasi Kota Bandar Lampung.

  • *) penulis adalah:
  • Advokat pada Yaskum Indonesia Law Office
  • Ketua DPP Yaskum Indonesia
  • Mantan Ketua KPW PRD Lampung

Yaskum Indonesia Law Office : Jalan Kembangan Baru, No.21-22, Kembangan, Jakarta Barat, 021-5801369

Subscribe

Thanks for read our article for update information please subscriber our newslatter below

No Responses

Comments are closed.

error

Enjoy this blog? Please spread the word :)