Strategis Penanganan Dampak Perubahan Iklim di Indonesia

Revitalisasi Peraturan Perundang-undangan

Abstract

Current impact of climate change, especially extreme events (such as: heat wave in northen hemisphere or extremely heavy rainfall in Java) and climate related-disasters (like: flood, drought, landslides, forest fires, etc) is increasingly felt by people, has led to climate change is now not just an issue anymore, it has become a real problem that to be tackled not only through international level through multilateral approach (convention), but also through national/local level.

This complex problem has challenge all of us, of course based on its role and capacity. Considering its nature that is complicated and cross-sectoral as well as affecting to all people, to cope with this problem we have to apply multi-layer approaches. It needs to involve active role of all layers of government/ administration from central, including the House of Representatives), until the lowest level (village/desa/kelurahan), not only environment related institutions but also all components of the nation.

From the view of top-down approach, one of strategic and long/medium-term steps is revitalization (including reviewing and gradual revision) of all relevant acts and regulations until it created a new products of law that are not only implementable but also contribute significantly to problem solving as well as anticipative measures that could help reduce possilbe climate risks in the near future. This could be achieved only by creating a ‘climate proof or climate smart’ law system.

Pendahuluan

Makin meningkatnya kejadian-kejadian ekstrim cuaca/iklim dan bencana terkait iklim (seperti banjir, longsor, puting beliung) akhir-akhir ini (termasuk kejadian jebolnya bendungan di Situ Gintung Tangerang-Banten yang menewaskan lebih dari 90 orang), telah memaksa kita berusaha memahami apa yang sebenarnya sedang terjadi pada Bumi dan lingkungan kita.

Hasil kajian suatu forum berkumpulnya ilmuwan seluruh dunia, yand dikenal dengan IPCC-Intergovernmental Panel on Climate Change (2007) menunjukkan bahwa 11 dari 12 tahun terpanas sejak tahun 1850 terjadi dalam waktu kurun 12 tahun terakhir. Kenaikan temperatur total dari tahun 1850-1899 sampai dengan tahun 2001-2005 adalah 0,76oC. Muka air laut rata-rata global telah meningkat dengan laju rata-rata 1,8 mm per-tahun dalam rentang waktu antara tahun 1961 sampai 2003. Kenaikan total muka air laut yang berhasil dicatat pada abad ke-20 diperkirakan 0,17 m. Laporan IPCC juga menyatakan bahwa kegiatan manusia ikut berperan dalam pemanasan global sejak pertengahan abad ke-20. Pemanasan global akan terus meningkat dengan percepatan yang lebih tinggi pada abad ke-21 apabila tidak ada upaya penanggulangannya.

Indonesia adalah termasuk negara yang sangat rentan terkena bencana-bencana yang terkait dengan perubahan iklim, contohnya bencana banjir dan longsor yang sejak beberapa tahun belakangan ini seringkali terjadi. Dalam perioda 2003-2005 saja, terjadi 1.429 kejadian bencana dan sekitar 53,3% adalah bencana terkait dengan hidro-meteorologi (Bappenas dan Bakornas PB, 2006). Sedangkan menurut Departemen Kelautan dan Perikanan, dalam dua tahun saja (2005 – 2007) Indonesia telah kehilangan 24 pulau kecil di Nusantara, dengan rincian sebagai berikut:

  •  tiga pulau di Nanggroe Aceh Darussalam (NAD),
  • tiga pulau di Sumatera utara,
  • tiga di Papua, lima di Kepulauan Riau, dua di Sumatera Barat, satu di Sulawesi Selatan, dan tujuh di kawasan Kepulauan Seribu, Jakarta.

Secara sederhana, kita bisa katakan bahwa kondisi tersebut tidak bisa terlepas dari keberadaan gas rumah kaca (GRK) di atmosfer Bumi yang diemisikan/berasal dari berbagai aktivitas manusia, terutama kegiatan yang membutuhkan dan membakar bahan bakar fosil (minyak, gas bumi, dll) dan kegiatan yang menurunkan fungsi serap hutan (sepeti penebangan dan pembakaran pepohonan).  Untuk lebih memahami situasi GRK saat ini, kami kutipkan hasil kajian seorang ekonomi Inggris yang menjadi Penasihat Perdana Inggris Tony Blair, yaitu Sir Nicholas Stern, dibawah ini.

Konsentrasi GRK di atmosfer sekarang berada sekitar 430 ppm CO2 ekivalen, dibandingkan dengan hanya 280 ppm sebelum revolusi industri. Keberadaanya meningkat terus, dihasilkan dari emisi yang meningkat dari berbagai aktivitas manusia, termasuk pembangkitan energi dan perubahan penggunaan lahan. Dengan menggunakan istilah lain, emisi GRK diakibatkan dari pembangunan ekonomi. Emisi Karbon Dioksida (CO2) per kepala sangat erat berkorelasi dengan GDP (Gross Domestic Product) per kepala kapan pun dan dimana pun. Amerika Utara dan Eropa telah menghasilkan sekitar 70% emisi CO2 dari produksi energi sejak 1850, sedangkan negara berkembang – negara pihak non-Annex I Protokol Kyoto – menyumbang kurang dari seperempat dari emisi kumulatif. Emisi tahunan GRK masih meningkat terus. Emisi karbon dioksida, yang menyumbang GRK terbesar, tumbuh dengan rata-rata tahunan sekitar 2,5 % antara tahun 1950 dan 2000. Pada tahun 2000, emisi semua GRK sekitar 42 GtCO2e, peningkatan konsentrasi dengan laju kurang-lebih 2,7 ppm CO2e per tahun.

Tanpa aksi memerangi perubahan iklim, konsentrasi GRK di atmosfer akan terus meningkat. Dalam skenario ‘business as usual’ yang masuk akal, konsentrasi tersebut akan  mencapai 550 ppm GtCO2e pada tahun 2035, lalu meningkat dengan laju 4,5 ppm per tahun dan terus meningkat. Kebanyakan Pertumbuhan emisi yang akan datang akan berasal dari negara berkembang sekarang, karena pertumbuhan penduduk dan GDP yang lebih cepat daripada negara maju, dan andil yang meningkat dari industri-industri yang intensif menggunakan energi. Negara pihak non-Annex I kemungkinan akan menyumbang lebih dari tiga perempat dari peningkatan emisi CO2 yang terkait energi antara 2004 dan 2030, menurut IEA (International Energy Agency), dengan Cina sendiri saja menyumbang lebih dari sepertiga dari kenaikan tersebut. Emisi total kemungkinan meningkat lebih cepat dari emisi per kepala, seiring dengan pertumbuhan penduduk global masih positif paling tidak sampai tahun 2050.

 

Tujuan/ Ruang Lingkup

Tulisan ini tidak dimaksudkan untuk penelaahan semua peraturan perundangan-undangan yang ada, karena bukan saja keterbatasan waktu namun juga permasalahannya yang sangat kompleks sehingga membutuhkan upaya besar dan lama. Pada tulisan ini, penulis hanya ingin menggugah para pakar dan pemerhati hukum untuk turut memikirkan permasalahan yang sedang dihadapi bangsa ini, khususnya yang terkaitan dengan isu yang saat ini sedang hangat-hangatnya dibicarakan oleh banyak orang. Mudah-mudahan setelah tulisan ini muncul dan bergulir terus pemikiran dan tulisan-tulisan lebih detil lagi dan lebih spesifik membahasan perudangan dan peraturan yang mengarah kepada upaya yang sistematis pada upaya mitigasi dan adaptasi perubahan iklim, sesuai dengan peran dan tanggung-jawab Indonesia pada upaya global memerangi perubahan iklim.

Dari segi substansi, jika kita merujuk Konvensi Perubahan Iklim (United Nations Framework Convention on Climate Change), terdapat dua aspek utama dalam penanganan isu perubahan iklim, yaitu: mitigasi dan adaptasi perubahan iklim. Namun, yang dibahas disini hanyalah aspek adaptasi perubahan iklim (walaupun tidak tertutup kemungkinan aspek mitigasi yang sangat erat kaitannya dengan adaptasi). Tanpa mengurangi esensi pentingnya, aspek mitigasi perubahan iklim (dalam artian pengurangan emisi GRK) tidak dibahas pada artikel ini, dengan alasan keterbaatasan ruang dan waktu.

 

Metodologi

Setelah diperkenalkan dengan isu pemanasan global dan perubahan iklim serta dampaknya secara sekilas, bagaimana penanganannya di Indonesia, khususnya apa agenda adaptasi yang telah berhasil diformulasikan.

Dalam tulisan ini beberapa undang-undang dan regulasi/peraturan yang ada saat ini diulas dan dianalisis untuk membantu mengungkap beberapa contoh produk perundangan/ regulasi kita yang belum memasukkan ‘konsep iklim’ atau lebih dikenal dengan ‘climate proof’ atau ‘climate smart’. Selain itu, penulis paparkan mengenai pengertian mengenai istilah ‘mitigasi (mitigate/mitigation)’ yang digunakan dalam beberapa undang-undang terbaru dan Konvensi Perubahan Iklim, yang agak berbeda pengertiannya.

Pada bagian akhir, penulis mengajukan bebarapa langkah usulan untuk mengurangi ‘gap’ yang terjadi dimasyarakat, untuk menghindari kelasahpengertian yang lebih besar lagi.

 

Agenda Adaptasi Perubahan Iklim

Dari uraian di atas, nampak jelas bahwa penanganan masalah perubahan iklim dalam konteks pembangunan membutuhkan manajemen risiko iklim saat ini secara efektif, dan pada saat bersamaan juga mampu mengembangkan sistem pembangunan yang tahan terhadap dampak perubahan iklim jangka-panjang. Upaya tersebut membutuhkan pendekatan lintas-sektor baik pada tingkat nasional, regional, maupun lokal. Disamping itu, kita tidak boleh lupa bahwa upaya adaptasi harus disertai upaya mitigasi karena upaya adaptasi tidak akan dapat efektif apabila laju perubahan iklim melebihi kemampuan beradaptasi.

Mengingat perubahan iklim berdampak terhadap banyak sektor, maka penanganannya membutuhkan konsep yang holistik dan koordinasi yang baik diantara sektor.

Sebagai negara kepulauan, Indonesia sangat rentan terhadap dampak perubahan iklim. Dengan kondisi sebagai negara berkembang, kemampuan Indonesia dalam melakukan adaptasi terhadap perubahan iklim belumlah sebaik negara-negara maju. Oleh karena itu dikhawatirkan bahwa pembangunan yang sedang dilaksanakan pemerintah bisa terhambat karena dampak perubahan iklim. Golongan yang paling rentan terhadap dampak perubahan iklim adalah masyarakat miskin yang juga merupakan golongan yang paling terkena dampak terhambatnya pembangunan nasional. Dengan demikian, respon terhadap perubahan iklim harus mengikutsertakan program pengentasan kemiskinan.

Strategi nasional menghadapi perubahan iklim juga perlu diarahkan pada pengembangan rekayasa sosial agar masyarakat dapat mengalami perubahan sosial secara terencana, sistematis dan menyeluruh yang dapat memberikan manfaat bagi kelangsungan kehidupan sosial dan ekologi.

Adaptasi terhadap perubahan iklim merupakan aspek kunci yang harus menjadi agenda pembangunan nasional dalam rangka mengembangkan pola pembangunan yang tahan terhadap dampak perubahan iklim dan gangguan anomali cuaca yang terjadi saat ini dan antisipasi dampaknya ke depan. Tujuan jangka panjang dari agenda adaptasi perubahan iklim di Indonesia adalah terintegrasinya adaptasi perubahan iklim ke dalam perencanaan pembangunan nasional.

Upaya adaptasi, seperti tertulis dalam Dokumen “Rencana Aksi Nasional  dalam Menghadapi Perubahan Iklim” (lebih dikenal dengan Dokumen RAN-PI) harus dilakukan melalui beberapa pendekatan: 1) mengintegrasikan agenda adaptasi perubahan iklim ke dalam rencana pembangunan nasional seperti Rencana Pembangunan Jangka Menengah dan Jangka Panjang, 2) meninjau kembali dan menyesuaikan inisiatif atau program yang ada sehingga menjadi tahan (resilience) terhadap perubahan iklim, 3) melembagakan pemanfaatan informasi iklim sehingga mampu mengelola resiko iklim, 4) mendorong daerah otonom untuk mengintegrasikan pertimbangan resiko iklim ke dalam perencanaan pembangunan daerah, 5) memperkuat informasi dan pengetahuan untuk mengurangi resiko iklim sekarang dan masa yang akan datang, 6) memastikan tersedianya sumber daya dan pendanaan yang berasal dari dalam negeri untuk kegiatan adaptasi serta memanfaatkan semaksimal mungkin bantuan pendanaan internasional, 7) memilih opsi no-regrets (tanpa penyesalan), yakni mengambil tindakan adaptasi, meski misalnya perubahan iklim tidak terjadi, sehingga manfaat yang diperoleh selain dapat mengurangi kerentanan terhadap perubahan iklim sekaligus mendatangkan manfaat bagi pembangunan nasional, dan 8) mendorong terbentuknya dialog nasional sehingga dapat mempercepat proses pengimplementasian agenda adaptasi perubahan iklim di Indonesia.

Agenda adaptasi perubahan iklim harus difokuskan pada area yang rentan terhadap perubahan iklim, yakni: sumber daya air, pertanian, perikanan, pesisir dan laut, infrastruktur dan pemukiman, kesehatan, dan kehutanan. Untuk mencapai pembangungan yang tahan terhadap resiko iklim, pada masing-masing area fokus perlu untuk diketahui: 1) tujuan agenda perubahan iklim yang ingin dicapai terkait erat dengan tujuan pembangunan nasional, yang dapat juga diselaraskan dengan pencapaian Millenium Development Goals (MDGs) Indonesia; 2) kondisi yang ada pada masing-masing area fokus saat ini baik biofisik, program dan inisiatif yang ada serta institusi yang bertanggung jawab terhadap dampak perubahan iklim; 3) perubahan kunci yang diperlukan pada program, investasi atau rencana yang sudah ada;  dan 4) investasi dan kegiatan tambahan atau baru yang diperlukan.

Agenda adaptasi dalam strategi pembangunan untuk menghadapi anomali iklim atau variabilitas iklim saat ini, antara lain dengan cara :

  • Program pengurangan resiko bencana terkait iklim melalui program penghutanan kembali, penghijauan terutama di kawasan hutan/lahan yang kritis, baik di hulu maupun di hilir (kawasan pesisir) dengan keterlibatan masyarakat;
  • Peningkatan kesadaran dan penyebarluasan informasi perubahan iklim dan informasi adaptasi pada berbagai tingkat masyarakat terutama untuk masyarakat yang rentan sebagai tindakan kesiap-siagaan dini dan peningkatan kesadaran tentang bencana iklim yang semakin meningkat;
  • Peningkatan kapasitas pengkajian ilmiah tentang perubahan iklim dan dampaknya serta upaya pengendaliannya serta mengembangkan model proyeksi perubahan iklim jangka pendek, menengah dan panjang untuk skala lokal atau regional yang diperlukan untuk menilai kerentanan dan dampak iklim serta menyusun rencana dan strategi kebijakan adaptasi terhadap perubahan iklim untuk jangka pendek, menengah dan panjang;
  • Peninjauan kembali kebijakan-kebijakan inti yang secara langsung maupun tidak langsung akan dipengaruhi oleh perubahan iklim. Kemudian mengidentifikasi penyesuaian seperti apa yang harus dilakukan terhadap program-program yang didesain dengan kebijakan-kebijakan itu dengan mempertimbangkan arah perubahan iklim dan kenaikan muka air laut serta perubahan kondisi sosial-ekonomi untuk mendapatkan kebijakan dan program yang lebih tahan terhadap perubahan iklim;
  • Peningkatan kapasitas untuk mengintegrasikan perubahan iklim dengan pengarus-utamaan adaptasi perubahan iklim kedalam perencanaan, perancangan infrastruktur, pengelolaan konflik, dan pembagian kawasan air tanah untuk institusi pengelolaan air;
  • Pengarus-utamaan adaptasi perubahan iklim kedalam kebijakan dan program di berbagai sektor (dengan fokus pada penanggulangan bencana, pengelolaan sumberdaya air, pertanian, kesehatan dan industri);
  • Pengembangan isu perubahan iklim dalam kurikulum sekolah menengah dan perguruan tinggi;
  • Pengembangan sistem pengamatan cuaca, iklim dan hidrologi khususnya di luar Jawa dan peningkatan kapasitas BMG dalam membuat ramalan cuaca dan iklim yang lebih akurat mencakup seluruh Indonesia;
  • Pengembangan sistem infrastruktur dan tata-ruang serta sektor-sektor yang tahan dan tanggap terhadap goncangan dan perubahan iklim, dan pengembangan serta penataan kembali tata ruang wilayah, khususnya pada kawasan pantai.

 

 

Di luar aspek substansi seperti yang diuraikan diatas, ada satu aspek penting dan strategis yang harus diperhatikan, yaitu aspke hukum/perundangan. Sebenarnya, didalam Dokumen RAN-PI sudah disinggung aspek ini dengan istilah ‘revitalisasi perundangan/peraturan yang ada’. Namun demikian, kerangka kerja revitalisasi ini tidak dibahas secara rinci didalam Dokumen ini, mungkin karena singkatnya waktu yang tersedia untuk menyelesaikan dokumen ini dan kesibukan luar biasa dalam menghadapi persiapan Konferensi Perubahan Iklim di Bali, maka pembahasan dan formulasi mengenai aspek hukum ini belum memadai.

Pernyataan yang telah diformulasikan didalam dokumen tsb yang penting adalah “Sangat mendesak untuk melakukan penyelarasan wilayah-wilayah kebijakan publik serta instrumen hukum dan perundang-undangan yang terkait, khususnya dalam sektor-sektor mitigasi dan adaptasi prioritas pembangunan termasuk sektor pengguna energi (seperti pembangkit listrik, industri, transportasi, serta domestik dan komersial), perdagangan, kehutanan, pertanian, perikanan/kelautan, pertambangan, dan infrastruktur.”

Permasalahan dan Tantangan

 

Dalam konteks perubahan iklim/UNFCCC, dikenal dua istilah penting yang sering digunakan, yaitu: mitigasi dan adaptasi perubahan iklim. Pengertian MITIGASI adalah berbagai tindakan aktif untuk mencegah/ memperlambat terjadinya perubahan iklim/ pemanasan global & mengurangi dampak perubahan iklim/pemanasan global (melalui upaya penurunan emisi GRK, peningkatan penyerapan GRK, dll.). Dalam praktek, pengertian mitigasi yang belakangan lebih banyak digunakan oleh para praktisi.

Secara singkat, pengertian ‘mitigasi’ secara umum memiliki pengertian lain selain dari konteks bencana atau dampak/ resiko perubahan iklim, yaitu: pengurangan emisis GRK dari sumbernya. Sedangkan pengertian ‘mitigasi’ yang difahami oleh kebanyakan masyarakat kita cenderung hanya dalam konteks bencana atau dampak/resiko perubahan iklim.

Situasi ini dapat kita pahami, karena isu baru muncul akan lebih dipahami oleh masyarakat luas melalui program sosialisasi suatu peraturan/perundangan-undangan yang baru. Ini yang terjadi sekarang ini, dimana pada tahun yang sama (tahun 2007) lahir dua undang-undang yang baru (yang diuraikan dibawah ini) yang sama-sama memuat pengertian yang sama mengenai ‘mitigasi’ hanya dalam konteks bencana atau dampak/resiko perubahan iklim.

Namun, kita lupa bahwa pada tahun 1994 kita sudah memiliki UU lain yang memiliki ‘tambahan’ pengertian tentang mitigasi, yaitu UU No. 6/1996 tentang Pengesahan Konvensi Perubahan Iklim. Yang terjadi pada masyarakat kita adalah walaupun peraturan/perundangan itu lahir setelah munculnya Konvensi Perubahan Iklim  peraturan/perundangan tersebut belum mengakomodasi secara memadai isu-isu perubahan iklim.

Beberapa perundangan/peraturan penting yang kami maksud diatas diantaranya:

  • Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana.
  • Dalam UU ini, tidak ada satu kata pun mengenai ‘iklim’, apalagi ‘perubahan iklim’. Berarti, bencana yang dimaksud UU ini adalah bencana umum, tidak spesifik mengenai ‘bencana terkait iklim’.
  • Mungkin karena lahirnya UU ini dipicu oleh kejadian tsunami di Prov Nangro Aceh Darussalam tahun 2004 lalu. Bencana tsunami diakibatkan pergerakan lempeng tektonik dibawah permukaan bumi.
  • Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir Dan Pulau-Pulau Kecil.Di dalam UU ini, semua istilah ‘mitigasi‘ hanya dikaitkan dengan bencana, dan sama sekali tidak dikaitkan dengan dengan upaya pengurangan emisi GRK (dibawah pengertian UNFCCC).

 

Sebagai efek negatif dari kesalah-pengertian tersebut, sebagian masyarakat kita ada yang mengangap bahwa laut kita mampu menyerap Karbon Dioksida, yang menjadi penyebab utama terjadinya pemanasan global dan perubahan iklim, di atmosfer secara sangat signifikan, dengan menggunakan istilah ‘mitigasi’ dalam UU No. 27/ 2007.

Sedangkan, istilah ‘adaptasi’ dalam UNFCCC diartikan sebagai upaya penyesuaian diri kedalam sistem iklim yang berubah. Karena itu upaya pengurangan dampak/ resiko perubahan iklim, termasuk penanganan bencana, dalam konteks perubahan iklim/UNFCCC, termasuk ke dalam kategori adaptasi perubahan iklim. Karena kegiatan itu masuk kedalam pengertian: menyesuaikan diri kepada kondisi alam yang berubah (yang mungkin diakibatkan oleh perubahan iklim).

Penutup (kesimpulan dan saran)

Permasalahan yang dipaparkan diatas hanyalah sekedar menggambarkan bahwa dalam proses pengundangan peraturan kita ada ketidaksinkronan antara satu dengan lainnya. Walaupun dilahirkan pada era reformasi (tahun 2007) namun ditemukan masih saja ditemukan perlunya koordinasi dan sinkronisasi yang baik diatara para pemangku kepentingan di negara kita. Sehingga dengan logika seperti itu, penulis berani mengambil generalisasi bahwa UU lainnya pasti akan banyak ditemukan permasalahan serupa, mengingat isu perubahan iklim baru hangat dibicarakan masyarakat luas terutama oleh para pengambil keputusan baru akhir-akhir ini.

Selain itu, hal tersebut diatas menunjukkan bahwa dalam proses pembahasan kedua UU di atas (UU No. 24/2007 dan UU No. 27/2007) tidak melibatkan seluruh pemangku kepentingan. Ini terbukti, walaupun kita telah memiliki UU No. 5/1994 tentang Pengesahan Konvensi Perubahan Iklim) dan UU No. 17/2004 tentang Ratifikasi/Pengesahan Protokol Kyoto) yang memiliki pengertian ‘mitigasi’ agak berbeda dengan yang dimiliki kedua UU diatas, pengertian yang lebih lama ini tidak cukup diakomodasikan kedalam UU No. 24/2007 dan UU No. 27/2007.

Untuk menyiasati situasi ini, selain pada waktu tertentu kita perlu melakukan revisi terhadap UU ini, saat ini kita bisa lakukan melalui sosialisasi kepada masyarakat luas dengan menyampaikan pesan bahwa istilah ‘mitigasi’ memiliki makna agak berbeda tergantung konteks pembicaraan kita, dan merujuk kepada UU mana kita berbicara. Apabila kita tengok kembali pelajaran Tata Bahasa Indonesia, kata ‘mitigasi’ adalah termasuk kata transitif (yang memerlukan obyek) setelahnya.

Lebih jauh lagi, sebagai konsekuensi dari permasalahan seperti yang diindikasikan diatas dan mengingat isu perubahan iklim baru muncul belakangan serta dampak perubahan iklim menyentuh berbagai sektor kehidupan, maka proses review terhadap peraturan-perundangan yang ada perlu dilakukan secara bertahap sehingga satu-demi satu peraturan-perundangan yang ada dapat mengakomodir isu perubahan iklim dengan baik dan pada akhirnya dapat mengarah kepada suatu sistem peraturan-perundangan yang benar-benar telah mempertimbangan isu perubahan iklim/pemanasan global dengan baik atau kita sebut sebagai suatu sistem hukum yang ‘climate smart’ atau ‘climate proof’.

 

DAFTAR PUSTAKA

Bappenas and Bakornas PB. 2006. National action plan for disaster reduction 2006-2009. Office of The State Minister zor National Development Planning/ National Development Planning Agency and National Coordinating Agency for Disaster Management. Jakarta.

IPCC. 2007. Climate Change 2007: The Physical Science Basis. Summary for Policymakers. Intergovernmental Panel on Climate Change, Geneva.

Republik Indonesia. 2007. Rencana Aksi Nasional  dalam Menghadapi Perubahan Iklim.

STERN REVIEW: The Economics of Climate Change.

The Government of Republic of Indonesia. 2007. Indonesia Country Report: Climate Variability and Climate Changes, and Their Implication. Jakarta.

United Nations Framework Convention on Climate Change.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 1994 tentang Pengesahan Konvensi Perubahan Iklim.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2004 tentang Ratifikasi/Pengesahan Protokol Kyoto.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil.

Dadang Hilman, Cimahi, 25 February 1963 Komplek Bumi Mutiara II Blok JG No. 19     RT. 05/ 31 Kel. Bojong Kulur Kec. Gunung Putri Kab. Bogor Jl. . Budhi Gg. Budhi I No. 11/D RT02/03 Kel. Sukaraja  Cicendo  Bandung (40175) Telp. 022-6613719, Mobile. 081319950098, Email : d_hilman@menlh.go.id; dadanghilman@yahoo.com. Pendidikan : Master of Arts in Ecologically Sustainable Development, Murdoch University, Perth, Western Australia (graduated in December 2002) with Final Assignment “Sustainable Development through Greenhouse Gases Emissions Control in Indonesia”, Strata-1 Mathematics and Natural Sciences – Geophysics and Meteorology, Institute Technology of Bandung, Indonesia (graduated in Oct. 1991) with Final Assignment: ‘Diffusion Model in Urban Area’, Non-degree, Mathematics and Natural Sciences – Physics Department, University of Padjadjaran (until 1984). Pekerjaan Sekarang : Deputy National Project Director (DNPD) for Indonesia’s Second National Communication to the UNFCCC (SNC).

Subscribe

Thanks for read our article for update information please subscriber our newslatter below

No Responses

Leave a Reply

error

Enjoy this blog? Please spread the word :)